girl

Apakah Tobrut Termasuk Pelecehan Verbal? Menelaah Batasan Etika dalam Komunikasi Digital

Dalam era digital yang semakin terbuka, istilah-istilah baru bermunculan dengan cepat dan kerap kali menyebar tanpa filter. Salah satu istilah yang belakangan ini menjadi sorotan adalah “tobrut”, singkatan dari “toket brutal”. Ungkapan ini viral di berbagai media sosial, mulai dari kolom komentar hingga meme dan konten kreatif lainnya. Namun, di balik kesan lucu dan candaan receh yang melekat, tersimpan persoalan etis yang perlu dibahas lebih jauh.

Bagi Anda yang berkecimpung di dunia bisnis, komunikasi yang etis dan profesional tentu menjadi bagian dari reputasi. Pertanyaannya: sejauh mana batas antara candaan dan pelecehan verbal dalam komunikasi digital? Apakah istilah “tobrut” masuk dalam kategori yang melanggar etika atau bahkan hukum? Artikel ini mencoba menelaah isu tersebut dari berbagai sudut pandang.

Maraknya Istilah Vulgar dalam Komentar Netizen

Fenomena komentar nyeleneh, satir, hingga vulgar bukanlah hal baru di dunia maya. Netizen Indonesia dikenal kreatif dalam menciptakan istilah-istilah baru yang cepat viral. Istilah “tobrut” misalnya, pertama kali populer melalui platform hiburan daring seperti TikTok dan Twitter (kini X), dan dengan cepat menyebar ke berbagai kanal komunikasi lainnya.

Namun, penggunaan istilah vulgar di ruang publik digital memunculkan perdebatan. Banyak yang menganggapnya sekadar hiburan ringan atau gaya bercanda anak muda. Di sisi lain, tak sedikit pula yang menilai istilah seperti “tobrut” sebagai bentuk pelecehan, khususnya jika diarahkan langsung kepada individu tertentu. Ini menjadi refleksi bahwa batas antara ekspresi dan pelanggaran etika semakin kabur di era digital.

Bedanya Bercanda dan Melecehkan

Dalam komunikasi interpersonal, candaan memiliki tempat tersendiri. Namun, konteks dan audiens memegang peran penting dalam menilai apakah suatu ujaran masih dapat dikategorikan sebagai bercanda atau sudah masuk dalam ranah melecehkan.

Ketika istilah “tobrut” digunakan dalam konten satir tanpa menyasar individu, sebagian orang mungkin menilainya lucu. Tapi jika kata tersebut dilontarkan langsung kepada seseorang, misalnya di kolom komentar unggahan perempuan, konteksnya bisa berubah drastis.

Candaan yang sehat biasanya bersifat netral, tidak menyinggung SARA, dan tidak menjatuhkan martabat orang lain. Sementara pelecehan verbal ditandai dengan adanya unsur merendahkan, objektifikasi, atau menciptakan ketidaknyamanan pada pihak yang dituju. Maka dari itu, penting untuk memahami bahwa tidak semua “candaan” bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar oleh semua kalangan.

Apakah Menyebut “Tobrut” Termasuk Verbal Harassment?

Pertanyaan ini patut dikaji secara kritis. Jika istilah tobrut digunakan dalam ruang publik digital tanpa arah yang jelas, bisa jadi ia sekadar dianggap istilah viral belaka. Namun, saat ditujukan pada seseorang, terutama dalam konteks tubuh perempuan, istilah ini dapat dikategorikan sebagai verbal harassment atau pelecehan verbal.

Verbal harassment dalam konteks digital biasanya terjadi dalam bentuk komentar tidak pantas, pesan pribadi, atau konten yang bersifat merendahkan. Penggunaan kata-kata yang menyoroti bagian tubuh secara eksplisit termasuk dalam kategori ini. Maka, menyebut seseorang dengan istilah “tobrut” meski disamarkan atau dikemas dengan humor — tetap berpotensi melanggar etika dan kenyamanan.

Kondisi ini makin mengkhawatirkan jika penggunaannya dilakukan secara berulang, tanpa persetujuan, dan mengandung unsur seksual. Di sinilah letak pentingnya edukasi digital agar masyarakat tidak mudah menormalisasi istilah yang sejatinya merendahkan martabat sesama.

Perspektif Hukum dan Norma Sosial

Dari sisi hukum, Indonesia sebenarnya telah memiliki payung hukum yang melindungi individu dari bentuk pelecehan, termasuk di ranah digital. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur bahwa setiap orang dilarang menyebarkan konten yang melanggar kesusilaan.

Lebih lanjut, Pasal 27 ayat (1) UU ITE menyebutkan larangan mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Jika istilah “tobrut” digunakan dalam konteks yang menyinggung unsur tersebut, maka pelaku bisa dikenai sanksi pidana.

Di luar aspek hukum, norma sosial di masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi sopan santun dan kesantunan juga menjadi rambu moral. Komentar vulgar dianggap tidak pantas, apalagi jika disampaikan secara terbuka. Hal ini menuntut setiap pengguna media sosial untuk memiliki kesadaran etis dalam berkomunikasi.

Kesimpulan: Bijak Berbicara = Bijak Berinternet

Sebagai pengguna internet yang juga pelaku bisnis, Anda tentu memahami bahwa reputasi profesional dapat terganggu oleh komunikasi yang tidak etis. Viralitas tidak selalu sebanding dengan nilai positif. Dalam kasus “tobrut”, meski terlihat sepele, dampak penggunaan istilah ini terhadap kenyamanan orang lain perlu dipertimbangkan dengan matang.

Bijak berbicara di dunia maya mencerminkan kedewasaan digital. Apa yang Anda tulis dan bagikan di ruang publik dapat berdampak besar, baik bagi penerima pesan maupun citra diri Anda. Maka, sebelum ikut-ikutan menggunakan istilah yang tengah tren, pastikan konteksnya tepat dan tidak melukai pihak lain.

Sebagai penutup, marilah kita membiasakan diri untuk berinternet secara etis. Gunakan kata-kata yang membangun, bukan yang menjatuhkan. Dengan begitu, kita turut menciptakan ekosistem digital yang sehat dan inklusif, baik untuk pribadi maupun untuk bisnis yang Anda bangun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *